Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (Koleksi DIKTIS Kemenag RI)

Perguruan Tinggi Keagamaan dan Harapan Anak Bangsa

Seaam.unaim-wamena.ac.id, Mamuju – Pekan ini berada di Mamuju untuk satu persiapan acara SEAAM bersama dengan Universitas Tomakaka, Mamuju. Sebagaimana praktik kehidupan kini, tidak lagi berada di satu tempat tempat pada masa yang sama. Ada pula grup percakapan menggunakan aplikasi tertentu diantaranya WhatsApp.

Sore waktu Mamuju, perbincangan di grup perguruan tinggi terkait dengan rektor. Sayapun sejak sore sampai Maghrib turut nimbrung dalam percakapan tersebut. Beberapa catatan yang tertuang di sini, merupakan bagian dari respon terhadap ide dan juga percakapan tersebut.


Dalam kesyukuran dua tahun IAIN Sorong, kami mendiskusikan betapa pendirian perguruan tinggi Islam merupakan bagian dari ikhtiar membawa Islam di Indonesia sebagai bagian dari ekspresi beragama, dalam masa yang sama juga menjadi sarana dalam kemajuan masyarakat.

Kita menyaksikan sejak awal abad 21, transformasi kelembagaan perguruan tinggi dari institut ke universitas tidak berhenti hanya sampai pada enam IAIN yang dialihlembagakan menjadi UIN.

Tetap saja ada kelanjutan dari periode Mentri Agama ke Mentri Agama berikutnya. Kini kita sudah menyaksikan UIN Dato Karama Palu, UIN Fatmawati Soekarno Bengkulu. Jikalau saja, tahun 1995 semasa saya menduduki bangku kuliah hanya ada IAIN Alauddin dengan fakultas filial yang tersebar dari Parepare sampai ke Ambon.

Betapa rentang kendali yang teramat luas. Dekan yang ditempatkan di fakultas filial, semuanya harus mengacu ke rektor yang berada di Ujung Pandang. Belum lagi soal komunikasi waktu itu yang terbatas pada telepon dan fax. Sehingga bolehjadi ada waktu yang diperlukan untuk memutuskan sebuah perkara yang justru mendesak.

Kini, fakultas itu tidak lagi hanya pada kelembagaan ketika pembentukan pertama kali dengan nama STAIN. Bahkan sudah menjadi IAIN, sementara di Palu sudah mencapai kelembagaan UIN. Dengan adanya kelembagaan ini, juga dengan pengelolaan keuangan yang otonom menjadikan perguruan tinggi keagamaan menjadi pendidikan tinggi pilihan. Tidak saja dalam semangat keagamaan tetapi juga pada program studi yang semakin beragam.

Jika dulunya hanya ada pada IAIN Alauddin Ujung Pandang, sehingga kuliah hanya bagi mereka yang mampu ke Makassar. Kini, semua bisa kuliah bahkan tanpa harus meninggalkan kampung halaman. Parepare, Palopo, Bone, diantaranya untuk wilayah Sulawesi Selatan.

Bahkan perguruan tinggi keagamaan Islam swasta sudah berkembang ke seentaro Sulawei Selatan. Kita bisa saksikan perguruan tinggi di Jeneponto, Sinjai, Maros, dan Pangkep. Sementara di Sinjai dan juga Jeneponto, mereka bahkan kini mengelola pascasarjana. Terdapat kemudahan akses bagi pendidikan tinggi kini. Saya menyebutnya, bagian dari kemajuan Indonesia.


Perguruan tinggi itu adalah upaya menyemai harapan anak-anak bangsa. Dengan pendidikan tinggi, mereka memiliki tiket untuk berpindah posisi pilihan profesi. Kalaulah bahasa Bapak Prof. Dr. Hamdan Juhannis bahwa itu “melawan takdir”, maka sah-sah saja. Namun, apa yang dialami Prof. Hamdan merupakan peristiwa yang jamak.

Mahasiswa IAIN tidak ada yang berasal dari keluarga dosen pada fase awal. Namun kemudian dengan memiliki ijazah IAIN-lah akhirnya bisa memilih menjadi dosen. Maka, saya justru menyebutnya bahwa IAIN bolehjadi bukan perguruan tinggi terbaik. Namun, bisa menjadi pintu terbaik ke masa depan dengan ragam profesi yang diiginkan.

Dimana tidak semua dari kita mampu untuk menembus ujian masuk di universitas ternama. Bahkan saya saking pesimisnya, tidak pernah mendaftar sama sekali dengan kehawatiran ketidaklulusan yang mengitarinya.

Justru dengan adanya IAIN, menjadi sebuah harapan untuk menapaki cita yang ada. Walau seiring waktu juga berubah sesuai dengan kemampuan yang ada.

Akhirnya, siapapun yang menjadi pimpinan perguruan tinggi yang bolehjadi disebut ketua, ataupun rektor. Tetap saja bahwa mereka harus tunduk dan patuh pada kepentingan perguruan tinggi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagaimana amanat pendirian bangsa kita.

Ketika seorang ketua atau rektor memimpin, maka wajib memastikan bahwa lembaga yang dipimpinnya akan mengantarkan harapan anak-anak bangsa secara keseluruhan yang menjadi mahasiswa di perguruan tinggi tersebut. Bukan dengan mendaku sebagai seorang yang paling hebat kemudian justru menafikan sebagian besar dan justru melayani segelintir kecil kelompok mahasiswa.

Kepempinan yang dimandatkan melalui Mentri Agama wajib dipastikan untuk dijalani untuk memberikan tempat terbaik bagi kepentingan pelayanan untuk semua. Bukan melayani hanya kepentingan kelompok, apalagi kemudian memperjuangkan orang perorang.

Tidak saja karena kepemimpinan akan dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Ada pesan gurutta Achmad Amiruddin Pabittei. Cendekia yang pernah menjabat sebagai rektor Universitas Hasanuddin. Kemudian menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Selatan, dan meneruskan ke posisi Wakil Ketua MPR RI. Saya ubahsuai kalimatnya menjadi “bersikap manislah ketika memimpin, sebab engkau akan menemui orang yang sama ketika berhenti menjadi seorang pejabat”.

Ismail Suardi Wekke
Scientific Committee
Southeast Asia Academic Mobility (SEAAM)

Anda mungkin juga suka...

Artikel Populer

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *